Menelaah Perbedaan antara Sistem Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional
Menelaah Perbedaan antara Sistem Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional
Written by Admin | Published | Hits: 44401Menelaah Perbedaan antara Sistem Ekonomi Islam
dan Ekonomi Konvensional
Muhammad Syafi'i Antonio, Ph.D salah seorang pakar ekonomi Isalam di Indonesia menulis dalam salah satu bukunya,[1] bahwa perekonomian masyarakat luas – bukan hanya masyarakat muslim – akan menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-norma Islami. Islam mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Pemikiran beliau tersebut menggugah kita untuk menelaah lebih dalam tentang ekonomi Islam. Apa sebenarnya yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional “ala Barat” ? Apabila kita cermati lebih jauh, ternyata terdapat perbedaan yang mendasar (fundamental different) antara ekonomi Islam dan konvensional. Perbedaan-perbedaan yang mendasar tersebut dapat kita klasifikasikan kedalam beberapa aspek, yaitu:
1. Sumber (Epistemology)
Sebagai sebuah ad-din yang syumul, sumbernya berasaskan kepada sumber yang mutlak yaitu al-Quran dan al-Hadits. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam itu sebagai suatu agama yang istimewa dibanding dengan agama-agama ciptaan lain. Al-Quran dan al-Hadits ini menyuruh kita mempraktekkan ajaran wahyu tersebut dalam semua aspek kehidupan termasuk mu'amalah. Perkara-perkara asas mu'amalah dijelaskan di dalam wahyu yang meliputi perintah dan larangan.
Perintah seperti makan dan minum menjelaskan tentang tuntutan keperluan asasi manusia. Penjelasan Allah swt tentang kejadian-Nya untuk dimanfaatkan oleh manusia, menunjukkan bahwa alam ini disediakan untuk dibangun oleh manusia sebagai khalifah Allah.
Larangan-larangan Allah seperti riba, perniagaan babi, judi, arak dan lain-lain karena perkara-perkara tersebut merusak fungsi manusia sebagai khalifah tadi. Oleh karena itu, rujukan untuk menusia dalam semua keadaan termasuk persoalan ekonomi ini adalah lengkap. Kesemuanya itu menjurus kepada suatu tujuan yaitu keseimbangan rohani dan jasmani manusia berdasarkan tauhid. Sedangkan ekonomi konvensional tidak bersumber atau berlandaskan wahyu. Oleh karena itu ia lahir dari pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu atau masa sehingga diperlukan maklumat yang baru. Itu bedanya antara sumber wahyu dengan sumber akal manusia atau juga dikenal sebagai falsafah yang lepas bebas dari ikatan wahyu.
2. Tujuan Kehidupan
Tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-falah. Falah berasal dari bahasa Arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemulian atau kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata al-Quran,[2] yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akherat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru lebih ditekankan pada aspel spiritual. Dalam konteks dunia, falah merupakan konsep yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek perilaku individu/mikro maupun perilaku kolektif/makro.
Tujuan yang tidak sama akan melahirkan implikasi yang berbeda. Ekonomi konvensional tidak mempertimbangkan aspek ketuhanan dan keakhiratan tetapi lebih mengutamakan untuk kemudahan manusia di dunia saja. Oleh karena itu, ekonomi sekuler ini hanya bertujuan untuk kepuasan di dunia.
3. Konsep Harta
Dalam Islam, harta yang dimiliki manusia bukanlah tujuan hidup tetapi memiliki beberapa maksud dan tujuan, yaitu:
1. Harta sebagai amanah (as a trust) dari Allah swt. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam istilah Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah swt.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan menusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta.
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak.
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah.
Tujuan hidup sebenarnya ialah seperti firman Allah swt dalam QS. Al-An'am ayat 162:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (الانعام : ۱۶۲)
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam."
Merealisasikan perintah Allah yang sebenarnya ini akan membawa kepada ketenangan hidup yang hakiki. Setiap muslim percaya bahwa Allah swt merupakan Pencipta yang mampu memberikan ketenangan hakiki. Maka dari itu harta bukanlah tujuan utama kehidupan tetapi adalah sebagai jalan bagi mencapai nikmat ketenangan kehidupan di dunia hingga alam akherat.
Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional yang meletakkan keduniaan sebagai tujuan yang tidak mempunyai kaitan dengan Tuhan dan akherat sama sekali. Untuk merealisasikan tujuan hidup, mereka membentuk sistem-sistem yang mengikuti selera nafsu mereka guna memuaskan kehendak materil mereka semata, tanpa memperdulikan nilai-nilai dogmatis normatif. Mereka mengutamakan kepentingan individu dan golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah dan berprinsip siapa kuat dialah yang berkuasa (survival of the fittest). Selain itu juga, dalam sistem ekonomi konvensional manusia bebas untuk melakukan aktifitas ekonomi dengan motivasi keuntungan (profit) dan kepemilikan pribadi (private ownership) yang sebesar-besarnya.[3]
[1] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani (Cet.ke-11), 2007, hal. 10.
[2] Dalam beberapa ayat menggunakan kata muflihun (QS. Al-Imran (3): 104; al-A'raf (7): 8 dan 157; at-Taubah (9): 88; al-Mu'minun (23): 102; an-Nur (24): 51). Ayat yang lain menggunakan kata aflah ( QS. Al-Mu'minun (23): 1; asy-Syams (91): 9).
[3] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Finance, Pakistan: Maktaba Ma'ariful Qur'an, 2005, hal. 17.